KASIH YANG SEJATI
( MATIUS 22, 34-46)
Saudaraku yang dikasihi Tuhan Yesus
Kristus! Sebenarnya, apa yang paling penting/utama dalam beragama? Bagi
orang Yahudi, yang utama adalah bila mereka melakukan seluruh tuntutan
hukum Taurat. Malah mereka membuat Taurat itu lebih utama dari Allah
sendiri. Karena itu mereka menyelidikinya hingga hal kecil, membuat
semacam 'juklak' dan 'juknis', yang jumlah hingga 631 Tetapi kemudian di
mereka muncul perdebatan: dari semua itu, mana yang paling utama.
Karena itulah, dalam nats ini, seorang ahli Taurat bertanya, untuk
menjebak Yesus: "Hukum manakah yang paling utama?"
Yesus memberi
jawaban dari yang sudah mereka ketahui dari Musa, yang tertulis di
Ulangan 6, 4-5 "Hukum yang terutama ialah: Dengarlah, hai orang Israel,
Tuhan Allah kita, Tuhan itu esa. 12:30 Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan
segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu
dan dengan segenap kekuatanmu. 12:31 Dan hukum yang kedua ialah:
Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri. Tidak ada hukum lain
yang lebih utama dari pada kedua hukum ini.
Dengan jawaban ini
Yesus menyatakan bahwa yang terutama dalam beragama adalah kasih Itulah
intisari Alkitab. Bila semua Alkitab diperas maka hasilnya adalah kasih,
yang berdimensi tiga: Mengasihi Allah, dan mengasihi sesama, ditambah
dimensi ketiga, seperti mengasihi diri kita sendiri.
Saudaraku!
Sebenarnya mereka sudah tahu dan hafal itu, karena itu adalah Credo
Yahudi, yang wajib mereka lafalkan setiap hari, dan setiap Sabbat,
seperti kita melafalkan Pengakuan Iman Percaya.
Persoalannya,
mereka tidak melakukannya. Itu persoalan kita dari dulu hingga sekarang
sebenarnya sangat banyak yang sudah kita tahu, kita hafalkan, kita
mengerti tentang Kasih, tetapi belum banyak yang kita lakukan. Padahal
Tuhan Yesus katakan, bahwa yang layak memasuki Kerajaan Allah bukan
mereka yang mendengar dan mengucapkan, melainkan yang melakukan (Mat. 7,
21). Dan terutama, sebenarnya, bila kita semakin banyak melakukan kasih
pasti kondisi kita dan kondisi masyarakat kita akan berubah. Angka
perceraian akan menurun tetapi keluarga akan semakin bahagia. Tawuran,
perang antar suku, saling membunuh antar kampung tidak akan terjadi dan
kemiskinan akan berkurang drastis. Seorang penulis mengatakan: suatu
revolusi akan terjadi yang jauh lebih besar dari revolusi yang pernah
ada, apabila dengan pertolongan Tuhan manusia mulai mengasihi sesamanya
manusia seperti dirinya sendiri. Emmet Fox mengatakan, Tidak ada
kesulitan yang tak dapat dikalahkan oleh kasih yang dalam/ Tidak ada
penyakit yang tak dapat disembuhkan oleh kasih yang dalam/ Apabila kita
dapat mengasihi dengan tulus, kita akan menjadi mahluk yang paling
berbahagia dan paling kuat di dunia.
Saudaraku! Kita pasti
mengakui, bahwa sebenarnya bukan kita tidak tahu arti mengasihi Allah
dan mengasihi sesama seperti diri sendiri. Semua kita pasti tahu. Malah
sudah tahu terlampau banyak. Termasuk para pengkotbah yang terlampau
banyak membahas, banyak mengatakan dan mengkotbahkan. Di zaman ini,
kasih dan cinta itu sudah seperti barang obralan. Tetapi mungkin tidak
terlalu berlebihan bila kita mengatakan bahwa kata kasih itu sering
menjadi kata tanpa makna, dan slogan tanpa aksi.
Karena itu,
tidak perlu lagi menambah bahasan tentang kasih. Mungkin yang kita
butuhkan sekarang adalah perenungan batin yang dapat menggugah nurani,
batin, spiritualitas, manusia terdalam kita yang mendorong kita untuk
melakukannya. dalan Epistel 1. Tentang mengasihi Allah dengan segenap
hati, jiwa, akalbudi, berarti membuat Allah sebagai yang pertama, yang
terutama, dan yang satu-satunya Allah dalam hidupku, sehingga seluruh
emosi, perasaan, seluruh kemampuan olah otak, jiwa dan jasmaniku
bersumber dan bermuara kepada Dia. Mengasihi Allah berarti, saya harus
mendahulukan kepentingan Allah di atas segala-galanya termasuk di atas
kepentinganku sendiri. Dan menurut ay. 41 - 46, Yesus meyakinkan orang
Farisi dan kita, bahwa Tuhan Yesus adalah Anak Allah yang dilahirkan
dari keturunan Daud sebagaimana telah dinubuatkan para nabi dari dahulu
kala. Karena itu, kita harus mengasihi Tuhan Yesus dengan segenap hati
kita. Untuk itu mari kita coba renungkan di batin kita masing-masing:
Apakah saya sudah dapat disebut mengasihi Tuhan Allah dengan segenap
hati, jiwa dan akal budi saya:
a. Bila saya masih mau menggunakan
moral ganda - di mana ketika di gereja saya menyembah Tuhan dengan
sangat khusuk, tetapi sprich setelah keluar dari gereja, di kantor, di
bisnis, di kampus, saya menggunakan standar dunia, mengikut arus dunia?
b. Atau bila saya lebih suka menyenangkan hati orang, rekan bisnis saya ketimbang menyenangkan hati Tuhan?
c.
Atau bila saya masih mendahulukan kepentingan bisnis, atau hobby, atau
ambisi-ambisiku, atau mendahulukan pertemanan, karena ketika HP ku
memanggil, saya pasti akan membukanya dan menjawabnya, saya masih BBM an
walau ketika kebaktian WA berlangsung. Ketika saya bangun pagi, yang
pertama saya cari adalah HP, dan membuka pesan-pesan di sms atau email -
tetapi Alkitab saya terus tertutup, Alkitabku sangat rindu untuk saya
buka dan baca.
d. Atau, apakah saya bisa disebut mengasihi Allah
dengan segenap hati saya bila emosi saya masih belum dapat saya
kendalikan, dan amarah saya masih meledak-ledak yang membuat banyak
perselisihan?
e. Atau, bila saya masih memberi diri saya dikuasai
oleh hasrat untuk memiliki dan menikmati semua yang ada di dunia
ketimbang memberi seluruh hidup saya dikuasai oleh Tuhan Yesus?
f.
Atau bila saya masih membuat yang lain menjadi Allah alternatip bagi
saya. Memang mungkin saya tidak lagi menggunakan kuasakuasa kegelapan
(okultisme), tetapi mungkin saya sudah mendewakan pekerjaan, hobby,
kepintaran dan harta. Atau dalam pekerjaan, mengurus urusan saya lebih
mengandalakan pertemanan, jaringan, kemampuan berkomunikasiku ketimbang
mengandalkan kuasa Tuhan. Bukankah sebenarnya kuasa Tuhan jauh lebih
hebat dan lebih mampu dari kuasa manapun untuk menolong saya?
g. Bila saya mau mati-matian untuk memperoleh dan menikmati
itu, tetapi saya tidak mau mati-matian agar bisa dekat dengan Tuhanku?
h.
Apakah saya bisa disebut mengasihi Allah, bila ternyata waktuku
kuhabiskan hanya untukku, untuk hobbyku, untuk karierku, untuk duniaku,
dan bagi Tuhan hanyalah sisa-sisa waktuku? Padahal bukankah seluruh
waktuku adalah dari Dia. Bukankah sebenarnya, bila Tuhan menghentikan
waktu bagiku, bukankah
itu berarti saya harus check out dari
hidupku - alias mati? Saudaraku, mari kita renungkan. Satu hal yang bisa
meningkatkan kasih kita kepada Tuhan, bila kita menyadari betapa Tuhan
telah terlebih dahulu mengasihi kita. Tuhan bukan hanya memberi berkat
jasmani, tetapi memberi yang terutama, yaitu hidup kekal melalui
pengorbanan AnakNya, Tuhan Yesus Kristus. Orang yang mengenal kasih
Allah yang begitu besar akan mengorbankan apa saja miliknya untuk
mengasihi Tuhan. Bagi mereka, kasih Allah sudah cukup, karena kasih
Allah bagi kita melampaui apa pun yang dapat kita miliki. Memah kasih
hife hep-d. TUHAN yeterls hot
2. Yang kedua, mengasihi sesama
bukan untuk kepentingan saya tetapi untuk kepentingan Allah, sebagai
bukti saya mengasihi Allah, seperti dikatakan Firman Tuhan di 1 Yohanes
4, 21: Barangsiapa mengasihi Allah, ia harus juga mengasihi saudaranya.
Sekarang coba kita renungkan dalam batin kita masing-masing:
Apakah saya sudah bisa disebut mengasihi sesamaku, bila:
a.
Saya masih mau mengambil hak orang lain, terutama hak orang miskin?
Padahal tsb adalah tindakan menantang Allah. Karena Allah sangat membela
dan membantu mereka untuk memperoleh hak-nya, sementara kita mau
mengambil hak mereka?
b. Atau bila saya masih sulit mengampuni
mereka, malah menimbun-nimbun kesalahan mereka dan menunggu waktu untuk
balas dendam. Atau bila saya mengatakan kepada mereka, pajumpang di tano
rara ma hita.
c. Bila saya tidak menggunakan jabatan, kuasa,
kemampuan dan kesempatan yang Tuhan berikan kepada saya untuk membangun
sistem ekonomi kerakyatan, pemerataan pendapatan sehingga jurang antara
si miskin dan si kaya tidak semakin menganga?
d. Bila saya
membiarkan sesamaku yang sedang membutuhkanku, tidak memberi mereka
dorongan ketika mereka terpuruk, atau rugi, atau gagal, atau tidak
menghibur mereka ketika mereka sedih, susah atau bingung?
e. Bila saya masih mau melecehkan pembantu saya, atau merendahkan orang miskin, pemulung di depan rumahku,
f.
Atau memperlakukan bawahanku seperti budak, membentak tempn mereka
dengan kata-kata senonoh dan melecehkan? Bukankah mereka adalah ciptaan
mulia Tuhan? Bukankah darah Yesus juga telah tercurah untuk menebus
mereka?
g. Atau bila saya tega hidup dalam segala kemewahan, padahal lebih setengah penduduk dunia hidup di bawah kemiskinan?
h.
Atau bila saya sebagai pengusaha memperoleh untung sebesarbesarnya
padahal buruh saya hidup pas-pasan karena upah yang sangat minim?
Mari
renungkan dalam kedalaman hatimu. Ingatlah betapa Tuhan mengasihimu.
Bukankah selayaknya kita mengasi sesama kita juga? Percuma dan adalah
bohong besar bila kita mengatakan kita mengasihi Allah tetapi tidak
mengasihi sesama kita.
3. Yang ketiga: Mengasihi diri sendiri.
Bukan berarti kita egois atau individualis, mementingkan diri sendiri.
Tidak!. Mengasihi diri sendiri, berarti memperlakukan diri kita
sebagaimana Tuhan menginginkannya, karena kita dicipta sebagai mahluk
tertinggi, yang sepeta dan segambar dengan Tuhan? Pertanyaannya, apakah
kita sudah mengasihi diri kita? Tidak mungkin kita bisa memperlakukan
orang lain dengan baik sebelum kita memperlakukan diri kita sendiri
dengan baik.
Untuk itu mari kita coba renungkan beberapa hal. Apakah saya sudah mengasihi diri saya, bila:
a.
Bila saya masih membiarkan diri saya dikuasai oleh emosi? Tidak
Kemarahan memang alamiah. Dan itu sangat perlu, seperti Tuhan Yesus yang
marah ketika Bait Allah dicemari sehingga disebut sebagai rumah
penyamun. Masyarakat kita membutuhkan kemarahan terhadap korupsi,
terhadap ketidak adilan, terhadap pengrusakan lingkungan. Itu marah yang
baik. Yang salah adalah bila amarah itu kita biarkan ditunggangi oleh
iblis, sehingga menjadi amarah yang tidak terkendali, yang merusak diri
kita sendiri dan orang lain. Agar marahmu menjadi kasih, biarkan
amarahmu dikendalikan Tuhan Yesus.
b. Bila saya membiarkan
hal-hal kotor dan merusak ke dalam tubuh saya: narkoba, napza - atau
rokok (perusahaan rokok itu sendiri sudah mengatakan di bungkus rokok:
Merokok merusak kesehatan), tetapi kita masih mau memasukkannya, itu
artinya dengan sadar kita merusak kesehatan diri kita sendiri.
c.
Atau memasukkan kata-kata kotor yang merusak moral saya. Padahal Tuhan
Yesus mengatakan bahwa setiap kata yang keluar dari mulut saya haruslah
membangun diri saya dan orang lain.
d. Atau bila saya masih
membiarkan diri saya dikuasai kekuatiran yang berlebihan, sehingga saya
melakukan apa saja?. Bukankah Tuhan Yesus telah menjamin hidup saya
karena dia adalah Gembala Agung, sehingga Dia berkata: Jangan kuatir
akan hidupmu?
e. Atau yang terutama: bila saya tidak mau
memaafkan diri saya atas kesalahan dan kebodohan yang saya lakukan di
masa lampau, tetapi membiarkan itu menguasai saya sehingga saya stress,
atau depressi, atau jantungan. Padahal, bukankah Yesus menjamin,
bagaimanapun merahnya dosaku, atau jahatnya atau kotornya diriku,
bukankah Dia berkenan menghapuskan nya asalkan saya mau percaya dan
memohon ampun pada Yesus?
Biarlah semua itu kita renungkan dalam
hati kita masing-masing, sehingga hati nurani kita akan terus memacu
kita membuat kasih menjadi yang terutama dalam hidup kita: mengasihi
Allah, mengasihi sesama dan mengasihi diri kita sendiri. Selamat
merenungkan dan selamat mengasihi
Amin.
No comments:
Post a Comment