PERHATIAN

------------------- Dukung Pelayanan saya di Pedalaman Kalimantan melalui Pendirian POS PI (Pos Pekabaran Injil Suku Dalam) ------------------- Bila ada kesulitan dan dukungan doa bisa disampaikan dengan lewat : muribo_psrb@yahoo.com ------------------- muribo_psrb@yahoo.com ------------------- muribo_psrb@yahoo.com ------------------- muribo_psrb@yahoo.com -------------------

18.7.22

KASIH YANG SEJATI ( MATIUS 22, 34-46)



KASIH YANG SEJATI
( MATIUS 22, 34-46)

 
Saudaraku yang dikasihi Tuhan Yesus Kristus! Sebenarnya, apa yang paling penting/utama dalam beragama? Bagi orang Yahudi, yang utama adalah bila mereka melakukan seluruh tuntutan hukum Taurat. Malah mereka membuat Taurat itu lebih utama dari Allah sendiri. Karena itu mereka menyelidikinya hingga hal kecil, membuat semacam 'juklak' dan 'juknis', yang jumlah hingga 631 Tetapi kemudian di mereka muncul perdebatan: dari semua itu, mana yang paling utama. Karena itulah, dalam nats ini, seorang ahli Taurat bertanya, untuk menjebak Yesus: "Hukum manakah yang paling utama?"

Yesus memberi jawaban dari yang sudah mereka ketahui dari Musa, yang tertulis di Ulangan 6, 4-5 "Hukum yang terutama ialah: Dengarlah, hai orang Israel, Tuhan Allah kita, Tuhan itu esa. 12:30 Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu dan dengan segenap kekuatanmu. 12:31 Dan hukum yang kedua ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri. Tidak ada hukum lain yang lebih utama dari pada kedua hukum ini.

Dengan jawaban ini Yesus menyatakan bahwa yang terutama dalam beragama adalah kasih Itulah intisari Alkitab. Bila semua Alkitab diperas maka hasilnya adalah kasih, yang berdimensi tiga: Mengasihi Allah, dan mengasihi sesama, ditambah dimensi ketiga, seperti mengasihi diri kita sendiri.

Saudaraku! Sebenarnya mereka sudah tahu dan hafal itu, karena itu adalah Credo Yahudi, yang wajib mereka lafalkan setiap hari, dan setiap Sabbat, seperti kita melafalkan Pengakuan Iman Percaya.

Persoalannya, mereka tidak melakukannya. Itu persoalan kita dari dulu hingga sekarang sebenarnya sangat banyak yang sudah kita tahu, kita hafalkan, kita mengerti tentang Kasih, tetapi belum banyak yang kita lakukan. Padahal Tuhan Yesus katakan, bahwa yang layak memasuki Kerajaan Allah bukan mereka yang mendengar dan mengucapkan, melainkan yang melakukan (Mat. 7, 21). Dan terutama, sebenarnya, bila kita semakin banyak melakukan kasih pasti kondisi kita dan kondisi masyarakat kita akan berubah. Angka perceraian akan menurun tetapi keluarga akan semakin bahagia. Tawuran, perang antar suku, saling membunuh antar kampung tidak akan terjadi dan kemiskinan akan berkurang drastis. Seorang penulis mengatakan: suatu revolusi akan terjadi yang jauh lebih besar dari revolusi yang pernah ada, apabila dengan pertolongan Tuhan manusia mulai mengasihi sesamanya manusia seperti dirinya sendiri. Emmet Fox mengatakan, Tidak ada kesulitan yang tak dapat dikalahkan oleh kasih yang dalam/ Tidak ada penyakit yang tak dapat disembuhkan oleh kasih yang dalam/ Apabila kita dapat mengasihi dengan tulus, kita akan menjadi mahluk yang paling berbahagia dan paling kuat di dunia.

Saudaraku! Kita pasti mengakui, bahwa sebenarnya bukan kita tidak tahu arti mengasihi Allah dan mengasihi sesama seperti diri sendiri. Semua kita pasti tahu. Malah sudah tahu terlampau banyak. Termasuk para pengkotbah yang terlampau banyak membahas, banyak mengatakan dan mengkotbahkan. Di zaman ini, kasih dan cinta itu sudah seperti barang obralan. Tetapi mungkin tidak terlalu berlebihan bila kita mengatakan bahwa kata kasih itu sering menjadi kata tanpa makna, dan slogan tanpa aksi.

Karena itu, tidak perlu lagi menambah bahasan tentang kasih. Mungkin yang kita butuhkan sekarang adalah perenungan batin yang dapat menggugah nurani, batin, spiritualitas, manusia terdalam kita yang mendorong kita untuk melakukannya. dalan Epistel 1. Tentang mengasihi Allah dengan segenap hati, jiwa, akalbudi, berarti membuat Allah sebagai yang pertama, yang terutama, dan yang satu-satunya Allah dalam hidupku, sehingga seluruh emosi, perasaan, seluruh kemampuan olah otak, jiwa dan jasmaniku bersumber dan bermuara kepada Dia. Mengasihi Allah berarti, saya harus mendahulukan kepentingan Allah di atas segala-galanya termasuk di atas kepentinganku sendiri. Dan menurut ay. 41 - 46, Yesus meyakinkan orang Farisi dan kita, bahwa Tuhan Yesus adalah Anak Allah yang dilahirkan dari keturunan Daud sebagaimana telah dinubuatkan para nabi dari dahulu kala. Karena itu, kita harus mengasihi Tuhan Yesus dengan segenap hati kita. Untuk itu mari kita coba renungkan di batin kita masing-masing: Apakah saya sudah dapat disebut mengasihi Tuhan Allah dengan segenap hati, jiwa dan akal budi saya:

a. Bila saya masih mau menggunakan moral ganda - di mana ketika di gereja saya menyembah Tuhan dengan sangat khusuk, tetapi sprich setelah keluar dari gereja, di kantor, di bisnis, di kampus, saya menggunakan standar dunia, mengikut arus dunia?

b. Atau bila saya lebih suka menyenangkan hati orang, rekan bisnis saya ketimbang menyenangkan hati Tuhan?

c. Atau bila saya masih mendahulukan kepentingan bisnis, atau hobby, atau ambisi-ambisiku, atau mendahulukan pertemanan, karena ketika HP ku memanggil, saya pasti akan membukanya dan menjawabnya, saya masih BBM an walau ketika kebaktian WA berlangsung. Ketika saya bangun pagi, yang pertama saya cari adalah HP, dan membuka pesan-pesan di sms atau email - tetapi Alkitab saya terus tertutup, Alkitabku sangat rindu untuk saya buka dan baca.

d. Atau, apakah saya bisa disebut mengasihi Allah dengan segenap hati saya bila emosi saya masih belum dapat saya kendalikan, dan amarah saya masih meledak-ledak yang membuat banyak perselisihan?

e. Atau, bila saya masih memberi diri saya dikuasai oleh hasrat untuk memiliki dan menikmati semua yang ada di dunia ketimbang memberi seluruh hidup saya dikuasai oleh Tuhan Yesus?

f. Atau bila saya masih membuat yang lain menjadi Allah alternatip bagi saya. Memang mungkin saya tidak lagi menggunakan kuasakuasa kegelapan (okultisme), tetapi mungkin saya sudah mendewakan pekerjaan, hobby, kepintaran dan harta. Atau dalam pekerjaan, mengurus urusan saya lebih mengandalakan pertemanan, jaringan, kemampuan berkomunikasiku ketimbang mengandalkan kuasa Tuhan. Bukankah sebenarnya kuasa Tuhan jauh lebih hebat dan lebih mampu dari kuasa manapun untuk menolong saya?

g. Bila saya mau mati-matian untuk memperoleh dan menikmati itu, tetapi saya tidak mau mati-matian agar bisa dekat dengan Tuhanku?

h. Apakah saya bisa disebut mengasihi Allah, bila ternyata waktuku kuhabiskan hanya untukku, untuk hobbyku, untuk karierku, untuk duniaku, dan bagi Tuhan hanyalah sisa-sisa waktuku? Padahal bukankah seluruh waktuku adalah dari Dia. Bukankah sebenarnya, bila Tuhan menghentikan waktu bagiku, bukankah

itu berarti saya harus check out dari hidupku - alias mati? Saudaraku, mari kita renungkan. Satu hal yang bisa meningkatkan kasih kita kepada Tuhan, bila kita menyadari betapa Tuhan telah terlebih dahulu mengasihi kita. Tuhan bukan hanya memberi berkat jasmani, tetapi memberi yang terutama, yaitu hidup kekal melalui pengorbanan AnakNya, Tuhan Yesus Kristus. Orang yang mengenal kasih Allah yang begitu besar akan mengorbankan apa saja miliknya untuk mengasihi Tuhan. Bagi mereka, kasih Allah sudah cukup, karena kasih Allah bagi kita melampaui apa pun yang dapat kita miliki. Memah kasih hife hep-d. TUHAN yeterls hot

2. Yang kedua, mengasihi sesama bukan untuk kepentingan saya tetapi untuk kepentingan Allah, sebagai bukti saya mengasihi Allah, seperti dikatakan Firman Tuhan di 1 Yohanes 4, 21: Barangsiapa mengasihi Allah, ia harus juga mengasihi saudaranya. Sekarang coba kita renungkan dalam batin kita masing-masing:

Apakah saya sudah bisa disebut mengasihi sesamaku, bila:

a. Saya masih mau mengambil hak orang lain, terutama hak orang miskin? Padahal tsb adalah tindakan menantang Allah. Karena Allah sangat membela dan membantu mereka untuk memperoleh hak-nya, sementara kita mau mengambil hak mereka?

b. Atau bila saya masih sulit mengampuni mereka, malah menimbun-nimbun kesalahan mereka dan menunggu waktu untuk balas dendam. Atau bila saya mengatakan kepada mereka, pajumpang di tano rara ma hita.

c. Bila saya tidak menggunakan jabatan, kuasa, kemampuan dan kesempatan yang Tuhan berikan kepada saya untuk membangun sistem ekonomi kerakyatan, pemerataan pendapatan sehingga jurang antara si miskin dan si kaya tidak semakin menganga?

d. Bila saya membiarkan sesamaku yang sedang membutuhkanku, tidak memberi mereka dorongan ketika mereka terpuruk, atau rugi, atau gagal, atau tidak menghibur mereka ketika mereka sedih, susah atau bingung?

e. Bila saya masih mau melecehkan pembantu saya, atau merendahkan orang miskin, pemulung di depan rumahku,

f. Atau memperlakukan bawahanku seperti budak, membentak tempn mereka dengan kata-kata senonoh dan melecehkan? Bukankah mereka adalah ciptaan mulia Tuhan? Bukankah darah Yesus juga telah tercurah untuk menebus mereka?

g. Atau bila saya tega hidup dalam segala kemewahan, padahal lebih setengah penduduk dunia hidup di bawah kemiskinan?

h. Atau bila saya sebagai pengusaha memperoleh untung sebesarbesarnya padahal buruh saya hidup pas-pasan karena upah yang sangat minim?

Mari renungkan dalam kedalaman hatimu. Ingatlah betapa Tuhan mengasihimu. Bukankah selayaknya kita mengasi sesama kita juga? Percuma dan adalah bohong besar bila kita mengatakan kita mengasihi Allah tetapi tidak mengasihi sesama kita.

3. Yang ketiga: Mengasihi diri sendiri. Bukan berarti kita egois atau individualis, mementingkan diri sendiri. Tidak!. Mengasihi diri sendiri, berarti memperlakukan diri kita sebagaimana Tuhan menginginkannya, karena kita dicipta sebagai mahluk tertinggi, yang sepeta dan segambar dengan Tuhan? Pertanyaannya, apakah kita sudah mengasihi diri kita? Tidak mungkin kita bisa memperlakukan orang lain dengan baik sebelum kita memperlakukan diri kita sendiri dengan baik.

Untuk itu mari kita coba renungkan beberapa hal. Apakah saya sudah mengasihi diri saya, bila:

a. Bila saya masih membiarkan diri saya dikuasai oleh emosi? Tidak Kemarahan memang alamiah. Dan itu sangat perlu, seperti Tuhan Yesus yang marah ketika Bait Allah dicemari sehingga disebut sebagai rumah penyamun. Masyarakat kita membutuhkan kemarahan terhadap korupsi, terhadap ketidak adilan, terhadap pengrusakan lingkungan. Itu marah yang baik. Yang salah adalah bila amarah itu kita biarkan ditunggangi oleh iblis, sehingga menjadi amarah yang tidak terkendali, yang merusak diri kita sendiri dan orang lain. Agar marahmu menjadi kasih, biarkan amarahmu dikendalikan Tuhan Yesus.

b. Bila saya membiarkan hal-hal kotor dan merusak ke dalam tubuh saya: narkoba, napza - atau rokok (perusahaan rokok itu sendiri sudah mengatakan di bungkus rokok: Merokok merusak kesehatan), tetapi kita masih mau memasukkannya, itu artinya dengan sadar kita merusak kesehatan diri kita sendiri.

c. Atau memasukkan kata-kata kotor yang merusak moral saya. Padahal Tuhan Yesus mengatakan bahwa setiap kata yang keluar dari mulut saya haruslah membangun diri saya dan orang lain.

d. Atau bila saya masih membiarkan diri saya dikuasai kekuatiran yang berlebihan, sehingga saya melakukan apa saja?. Bukankah Tuhan Yesus telah menjamin hidup saya karena dia adalah Gembala Agung, sehingga Dia berkata: Jangan kuatir akan hidupmu?

e. Atau yang terutama: bila saya tidak mau memaafkan diri saya atas kesalahan dan kebodohan yang saya lakukan di masa lampau, tetapi membiarkan itu menguasai saya sehingga saya stress, atau depressi, atau jantungan. Padahal, bukankah Yesus menjamin, bagaimanapun merahnya dosaku, atau jahatnya atau kotornya diriku, bukankah Dia berkenan menghapuskan nya asalkan saya mau percaya dan memohon ampun pada Yesus?

Biarlah semua itu kita renungkan dalam hati kita masing-masing, sehingga hati nurani kita akan terus memacu kita membuat kasih menjadi yang terutama dalam hidup kita: mengasihi Allah, mengasihi sesama dan mengasihi diri kita sendiri. Selamat merenungkan dan selamat mengasihi

Amin.


No comments: